KONTROVERSI PEMILIHAN KOMITE SEKOLAH SDSN GUNTUR 03 PAGI JAKARTA

Ketika Lord Acton mengatakan bahwa “power tends to corrupt, absolute power absolutely corrupts”, ternyata analisa negarawan ini memang menular ke hampir semua pemegang kekuasaan. Pemegang kekuasaan eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Begitupun tingkatnya. Tidak peduli di tingkat pusat, daerah maupun unit, keserakahan ini tetap terjadi. Tulisan ini tidak ingin membicarakan mengenai tingkah laku para pemegang kekuasaan di tingkat nasional ataupun daerah tapi di tingkat satuan sekolah, terutama yang berkenaan dengan organisasi komite sekolah.

Komite sekolah adalah suatu organisasi mandiri yang berlokasi di suatu satuan pendidikan/sekolah. Organisasi ini merupakan pengganti organisasi sebelumnya yang dikenal dengan nama BP3 yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi dan aspirasi saat ini. Sebagai organisasi pengganti, tentu saja ia mempunyai visi, misi dan paradigma yang berbeda dengan organisasi sebelumnya.

Dasar hukum yang menjadi pijakan terbentuknya komite sekolah berawal dengan digulirkannya Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Propenas (Program Pembangunan Nasional). Undang-undang ini mengamanahkan terbentuknya komite sekolah disetiap satuan pendidikan disemua jenjang. Sebagai respon terhadap undang-undang ini, Renstra Depatemen Pendidikan Nasional tahun 2005 – 2009 menetapkan target yang menjadi tonggak kunci keberhasilan pembangunan pendidikan (key milestones), antara lain bahwa:

  1. 50% Dewan Pendidikan telah berfungsi dengan baik pada tahun 2009;
  2. 50% Komite Sekolah telah berfungsi dengan baik pada tahun 2009, dan
  3. Dewan Pendidikan Nasional telah dibentuk pada tahun 2009.

Amanah inilah yang kemudian dijabarkan dalam Kepmendiknas No. 44/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.

Sejak awal disosialisasikannya pembentukan Komite Sekolah melalui Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 044/U/2002 diperkirakan Komite Sekolah telah terbentuk di hampir lebih 200 ribu satuan pendidikan diseluruh Indonesia mulai jenjang SD/MI sampai jenjang sekolah menengah. Suatu keberhasilan yang patut dibanggakan dari sisi kuantitatif.

Namun sayangnya, secara kualitatif, pembentukan komite sekolah masih belum mampu mewujudkan the dream comes true. Paling tidak, masih banyak pembentukan maupun pelaksanaan komite sekolah yang mengabaikan prinsip-prinsip organisasi komite sekolah seperti yang diamanahkan undang-undang maupun peraturan di bawahnya.

Pembentukan Komite Sekolah di SDSN Guntur 03 Pagi Jakarta

Dalam perjalanan sejarah SDSN Guntur 03, organisasi komite sekolah memang bukan merupakan hal yang baru. Komite sekolah di SDSN ini sudah terbentuk sejak adanya Kepmendiknas No. 44/U/2022. Namun jauh panggang dari api, organisasi komite ini sama sekali tidak memenuhi unsur-unsur organisasi seperti yang diamanahkan Kepmendiknas.

Mulai dari tata cara pembentukannya yang seperti sulap, hampir semua warga sekolah tidak ada yang tahu dari mana asal muasal terpilihnya ketua komite bersama segala perangkatnya. Yang warga selalu tahu adalah, bahwa setiap sumbangan atau kegiatan yang membutuhkan uang selalu mengatasnamakan komite sekolah. Azas kepedulian, kerelaan dan keikhlasan tidak melekat di hati warga sekolah. Empat periode berjalan, hanya satu periode (2009-2012) yang berusaha untuk menjalankan Kepmen No. 44/U/2002. Selebihnya, kepmen dianggap seperti angin lalu dan tidak pernah dijalankan sama sekali.

Lebih satu dekade berlalu. Alhasil, Komite Sekolah generasi pertama, kedua dan ketiga turun dengan diiringi gejolak transisi, tanpa hasil yang jelas serta progres yang diperoleh pun tidak comparable karena aktifitas utama manajemen, yaitu planning (perencanaan), executing (pelaksanaan) dan evaluating (evaluasi) sama sekali tidak pernah dijalankan.

Upaya Pelaksanaan Kepmen No. 44/U/2002

Perubahan suasana yang lebih baik mulai terasa ketika KS SDSN Guntur 03 memasuki periode keempat (2009-2012). Pada awal periode ini, Kepmen No. 44/U/2002 mulai diterapkan, terutama poin VI.2.a.2 (Lampiran II) yang berkenaan dengan mekanisme pembentukan KS. Tahapan-tahapan yang ditentukan, mulai dari

  1. a.     Sosialisasi tentang Komite;
  2. b.     Menyusun kriteria dan mengindentifikasi calon anggota berdasarkan usulan dari masyarakat;
  3. c.     Menyeleksi calon anggota berdasarkan usulan dari masyarakat;
  4. d.     Mengumumkan nama-nama calon anggota kepada masyarakat;
  5. e.     Menyusun nama-nama anggota terpilih;
  6. f.      Memfasilitasi pemilihan pengurus dan anggota Komite Sekolah;
  7. g.     Menyampaikan nama pengurus dan anggota kepada kepala satuan pendidikan:

Paling tidak, panitia persiapan pemilihan (KPU-Komite Pemilihan Umum) ketua KS telah mampu menghadirkan beberapa sosok kandidat yang mempunyai rekam jejak yang baik serta mendapat dukungan warga sekolah.

Adanya KPU yang terdiri dari berbagai unsur dan menerapkan mekanisme pemilihan sesuai Kepmen terbukti mampu meredam gejolak yang terjadi pada masa transisi. Salah satu isyu yang ada pada waktu itu adalah, bahwa ketua KS terlalu berkuasa dan sering tidak mendengar/menutup saluran aspirasi tingkat bawah. Kendati hubungan KS dengan pihak sekolah berjalan mulus tapi tersendatnya saluran aspirasi telah menyebabkan rasa kecewa yang berakhir dengan adanya gelombang penolakan calon incumbent.

Namun selamat dari gejolak masa transisi memang tidak lantas membuat KS periode keempat dapat dikatakan berhasil. Terpilihnya ketua KS dengan baik dan benar sesuai Kepmen No 44/U/2002 adalah satu hal. Di sisi lain, mengisi kepercayaan yang diberikan warga sekolah sehingga membawa safaat bagi khalayak adalah hal yang tidak mudah. Niat baik harus dilakukan dengan tindakan yang baik pula. Bila tidak, hasil yang akan dicapai menjadi tidak jelas karena kehilangan orientasi.

Disorientasi organisasi diawali dengan adanya pengabaian amanah Kepmen dalam hal pembentukan AD/ART KS. Padahal, amanah ini adalah hal pertama yang harus dijalankan KS sesaat setelah ia disyahkan berdasarkan surat keputusan kepsek. Kepmen  No. 44/U/2002 mensyaratkan dimilikinya AD/ART oleh suatu organisasi dengan pertimbangan bahwa seluruh elemen organisasi akan mengetahui hak dan kewajibannya. Sehingga bila terjadi ketidaksesuaian maka semua unsur harus melihat kedalam AD/ART sebagai aturan yang disepakati. Dapat dibayangkan betapa kacaunya organisasi yang mengatasnamakan masyarakat tidak mempunyai aturan.

Tidak adanya pengaturan mekanisme rapat, pengambilan keputusan, pengelolaan keuangan, tata cara pelaporan, dll., telah menyebabkan distrust yang besar pada para pendukung KS periode ini. Hampir semua keputusan penting kembali hanya menjadi milik ketua KS. Sementara, tampak nyata adanya pembiaran oleh sekolah yang menikmati status quo dari situasi ini.

Disorientasi organisasi di atas kemudian diperparah dengan minimnya management skills KS periode ini. Visi, misi serta target yang diucapkan KS pada masa kampanye ternyata tidak mapu dijabarkan kedalam perencanaan pelaksanaan apalagi evaluasi. Inilah yang harus dirasakan warga selama tiga tahun kepengurusan KS. Organisasi bergerak seperti zombie yang berjalan tanpa arah. Dari hari ke hari tujuannya hanya mencari darah segar guna menyambung hidup.

Bagi suatu organisasi, anggota-anggotannya berharap untuk dapat mencapai tujuan bersama. Dalam hal KS, tujuan utama anggotanya adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan di sekolah tempat anaknya belajar. Sesuai dengan peran dan fungsi yang ditetapkan dalam Kepmen – Advisory, Supporting, Controlling Agency dan Mediator, KS diharuskan mempunyai program kerja tertulis, paling tidak jangka pendek. Ketika suatu organisasi tidak mempunyai dan mengetahui target yang harus dicapai, kapan, siapa dan bagaimana melakukannya maka ia hanya menjadi official stamper bagi sekolah. Kalau kita masukan rumus indikator keberhasilan pelaksanaan terhadap rencana:

Kemampuan Pelaksanaan = 1 – |(Perencanaan – Pelaksanaan) / Perencanaan|

Dengan memakai indikator diatas, kita melihat fakta nyata bahwa pelaksanaan yang tidak didahului dengan rencana maka akan ketidakjelasan hasil. Deviasi sama sekali tidak terbaca.

Peristiwa di atas hanya sekelumit dari berbagai pengabaian peraturan yang ada. Penguatan dan pemberdayaan KS di SDSN Guntur 03 merupakan kepentingan mendesak guna peningkatan mutu pendidikan. Bagaimana KS menjadi partner sekolah ketika ia tidak mampu mengurus dirinya sendiri.

Dillema Masa Kanibal dan Reformasi

Pilihan ke masa kanibal atau meneruskan reformasi memang kembali harus dilakukan ketika KS periode keempat berakhir di bulan November 2012. Kembali kemasa kanibal berarti membiarkan dimana orang yang kuat menjadi raja. Ketika raja tersebut bermesraan dengan raja negara tetangga, maka yang dirugikan adalah rakyat karena subjektifitas pertimbangan pro-kepentingan khalayak menjadi tertutup. Begitupun ketika raja tersebut sudah tidak lagi bermersaan/bersinggungan dengan raja negara tetangga, maka sekali lagi rakyat pun akan dirugikan karena situasi chaos. Pemilihan yang dilakukan dengan berkedok pengajuan calon anggota KS melalui perwalian jelas-jelas melanggar Kepmen bahkan menghianati pasal 197 ayat (6) PP No. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Dan Penyelenggaraan Pendidikan.

Manakala melanjutkan reformasi menjadi pilihan maka ia akan menuntut konsistensi sikap transparan, akuntabel dan demokratis. Itu berarti kejujuran, ketidakserakahan dan saling menghormati merasuk di dalam darah para pengambil keputusan. Tanpa jiwa demikian mereka hanyalah seonggok makhluk corrupt seperti yang disebut Lord Acton pada pembuka tulisan ini. Mereka hanya menghinakan diri sendiri dan harusnya merasa malu menginjakkan kaki di area pendidikan.

About Hendrawarman Nasution

JUST AN ORDINARY PERSON
This entry was posted in Education. Bookmark the permalink.

Leave a comment