Oleh: Hendrawarman Nasution
Dipublikasi di KOMPAS.COM tanggal 16 April 2019
Mencermati perkembangan kontestasi politik di tanah gemah ripah loh jinawi menjadi hal yang semakin menarik. Hari demi hari, gaung perpecahan semakin pekat. Dibanding dengan 93 tahun lalu, ketika Bung Karno melempar gagasan Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme, kita meyakini bahwa saat inilah kata “via dolorosa” menemukan momentumnya.
Peradaban kebangsaan kita sedang mengusung kehancuran dan menggali kuburnya sendiri. Pasak pilar-pilar struktur sosial mulai goyah dan merenggang, sistem kekerabatan bergerak menjauh dengan tidak mendengar kata hati selain cost and benefit. Pergeseran platform yang terus berlanjut selama 5 tahun terakhir ini, tidak menyemai satu pun buih kenegarawanan yang tampil untuk merekat retaknya cangkang kebangsaan.
Tentunya kita semua berharap semoga tanggal 17 April mendatang, kita tidak merayakan kemenangan satu kontestan yang ber-selfie sambil meletakkan kakinya di atas kepala kontestan lainnya yang memiliki voter lebih sedikit. Semoga sebelum hari itu tiba, para begawan kebangsaan sudah bermunculan, turun dari menara gadingnya, menjadi penyejuk medan laga. Di sisi lain, kita juga berharap semoga para kontestan menyadari ringkihnya kehidupan kebangsaan ini dan cepat mencopot topeng politisi parsial, mengganti dengan sikap arif bijaksananya seorang negarawan.
Masih berusaha konsentrasi untuk berpikir tapi tak mampu menganalisis fenomena politik yang terjadi, begitu terkejutnya ketika tangan seorang menepuk pundakku. “Jangan berhenti berpikir, karena dalam pikir itulah ada keberadaanmu,” kata orang itu dengan suara lembut namun penuh kewibawaan. Aku menengok ke arah orang yang menepuk dan bertanya dalam hati, “Siapa dia…?” “Rasanya aku pernah mengenal orang ini,” lanjutku sambil menerka dalam hati.
Ia seperti sosok seorang negarawan masa lalu yang memiliki segudang ide menginspirasi pikiran banyak orang. Bersyukur aku memiliki sebagian besar dan berulang kali membaca buku-bukunya yang selalu padat dengan kesempurnaan retorika dan inspirasi yang meletupkan semangat. Menurutku, ia adalah negarawan berwajah paling tampan yang memiliki sepasang tatapan mata tajam, kejam dan cerdas dengan sisiran rambut bergaya klasik.
Ketika berhasil memastikan identitasnya, aku berkata dalam hati, “masya Allah, tapi….. bagaimana mungkin dia?.” Dengan rasa penasaran yang sangat, kuberanikan diri untuk memastikan siapa dia. “Bapak, mirip sekali dengan…..,” tanyaku tapi terpotong dengan jawabannya yang cepat. “Ya….. aku adalah Sukarno,” katanya memotong keraguanku tapi tetap dengan suara berat dan berwibawa. “Akulah Bung Karno-mu….,” tambahnya. Mendengar jawabannya, aku seperti mendapat gaung vibrasi yang merambat ke seluruh tubuhku. Aku segera berdiri dan meraih tangan beliau untuk memberi salam dan mencium tangannya sebagai tanda hormatku. Namun lidahku kelu. Otakku tak mampu berpikir dan menyusun kalimat untuk memulai pembicaraan.
Beberapa waktu terakhir, aku memang kerap berpikir tentang artikel beliau yang ditulis pada tahun 1926 di surat kabar Suluh Indonesia Muda tentang “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme”. Dalam tulisannya, Bung Besar ini mengajukan ide agar kelompok-kelompok utama pergerakan segera bersatu dengan menanggalkan segenap perbedaan untuk membangun persamaan. Namun di sisi lain, hingga tulisan legendaris ini berakhir, kita tak menemukan satu formula pun atau kerangka berpikir untuk mencapai ide besar tersebut.
Seolah mengerti dengan sikap serba salahku, dia mulai mencairkan ketegangan. ”Ada apa, dik…?” dia mulai membuka pembicaraan. “Sepertinya pikiranmu amat terbebani masalah yang bukan milikmu,” katanya lagi. Ia melanjutkan, “kegalauan hati dan pikiranmu menjadi getar penghubung yang membangunkan tidur abadiku…” “Ceritakan padaku agar semua galaumu pergi,” katanya sambil menatapku dengan tajam.
Dengan memuji nama Allah, kurapal hamdalah atas pertemuan ini. Hanya dengan ijin-Nya semua ini dapat terjadi. Dengan semangat namun perlahan, kuceritakan kegalauan hati dan pikiranku tentang ancaman perpecahan bangsa dan pudarnya rasa nasionalisme yang dibangun para founding fathers negara ini
Kuceritakan, semua kekacauan yang berawal dari keinginan para politisi untuk membuat pagar presidential threshold sebesar 20% dari jumlah perolehan kursi di DPR-RI. Mereka berdalih bahwa, bila pembatasan ini tidak dilakukan maka pelaksanaan pemilu akan berpotensi menimbulkan kekacauan politik karena setiap partai berhak untuk mengusung calon presidennya. Walau sesungguhnya, rakyat tahu, bahwa semua upaya tersebut bermaksud hanya untuk melindungi dan mempertahankan kekuasaan mereka.
“Syahwat kuasa telah menciptakan intoleransi terhadap partai-partai kecil dengan mengkebiri harsrat untuk mencalonkan pasangan presidennya dan memaksa mereka untuk bergabung dengan partai yang memiliki suara potensial demi melewati batas ambang,” kataku mendudukkan masalah. “Akibatnya,” lanjutku, “kebijakan ini menyebabkan lahirnya dua poros kepentingan yang saling berlawanan dan berhadapan satu sama lain. Ini melahirkan antagonisme akut.” Aku juga menegaskan, “Bahkan… anak-pincut Bung pun menjadi salah seorang pemimpin dan kontributor utama atas fenomena politik yang menyedihkan ini.” “Andai saja anak Bung memerintahkan petugas partainya untuk menerbitkan perpu yang menghapus dan mengganti undang-undang tersebut dengan yang lebih bijak, maka masalah kebangsaan ini sudah selesai,’ jelasku. “Semua ini hanya soal syahwat kekuasaan,” kataku agak bernada tinggi.
Aku Bukan Tuhan
Bung Besar menerima kopi yang kubuatkan. Namun dari mimik mukanya tersirat luka dalam setelah mendengar uraianku. Ia menarik nafas dengan dalam dan dihembuskannya dengan keras. Kemudian katanya memecah hening, “kau tahu, dik…., cerita seperti ini akan terus berulang di setiap ruang dan waktu selama negara itu tidak mempunyai sistem yang kuat dan dicintai semua pihak.” Ia melanjutkan bahwa, “agar dapat dicintai semua pihak, sistem tersebut haruslah berkeadilan.” “Menguntungkan semua komponen dan elemen bangsa,” katanya lagi. Tak mengerti arti ucapannya, aku berusaha menggali lebih dalam lagi. “Apa maksud Bung…?” tanyaku.
Ia mengangkat cangkir kopi dan meneguknya dua kali sebelum menjawab. “Kalau suatu undang-undang dibuat dengan maksud untuk menguntungkan suatu ras, golongan, agama atau semacamnya sementara menindas yang lain, maka undang-undang tersebut akan merasakan bangkitnya penolakan yang berkepanjangan,” katanya. “Yang pertama dan utama dari semua itu adalah seberapa rimbun tumbuh kembangnya pohon kenegarawanan di relung hati dan perilaku para politisinya,” tambahnya. “Coba kau lihat konstitusi kita. Kami tidak pernah menorehkan satu ayat pun untuk maksud-maksud tersembunyi yang menguntungkan suatu golongan, ras, agama, baik mayoritas maupun minoritas…,” katanya terlihat geram. “Itu karena kami memiliki kehendak bersama untuk membentuk suatu negara merdeka yang melindungi segenap tumpah darah Indonesia untuk waktu yang tak berbatas,” jelasnya lebih jauh.
Bung Besar ini memang sudah berbicara soal peredaan ketegangan antara pilar-pilar kekuatan pergerakan kebangsaan Indonesia jauh sebelum kemerdekaan. Kala itu pun bukan masa yang mudah, saling tuding dan curiga antar tiga kekuatan besar Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme terlihat jelas. Bahkan beberapa kali terlibat benturan fisik. Semua itu menggelitik rasa ingin tahuku tentang resep kebangsaan Bung Besar ini.
Seolah mengerti keingintahuanku, ia mengatakan “Dik, aku bukan Tuhan. Aku pun tidak punya resep mujarap yang dapat menyatukan bangsa kita karena tiap generasi mempunyai tuntutannya sendiri-sendiri. Yang aku yakini, bahwa kehendak bersama yang ada di hati setiap anak bangsa itulah perekat utamanya. Perekat ini akan selalu ada dalam diri individu manapun selama harapannya terlindungi dan terpenuhi karena itulah hakekat mahluk sosial. Sebaliknya, penjara dan senjata apapun tidak akan pernah bisa menahan laju perpecahan suatu bangsa yang telah kehilangan kehendak bersama.” Diseruputnya kopi buatanku dan melanjutkan, “Coba kau renungkan Pancasila yang kita miliki. Tak ada satupun negara yang memiliki filosofi seindah itu. Tugas kita adalah bukan untuk menghafal sila-sila tersebut, tapi untuk memikirkan cara terbaik untuk mencapainya sehingga kehendak bersama itu terpelihara”.
Mendengar penjelasan Bung Besar yang sangat sederhana itu, aku hanya tertunduk malu. Merasa benar walau sebenarnya salah besar, seperti mencari kunci yang jatuh di dapur tapi aku mencarinya di di halaman. Namun rasa malu ini tak berlangsung lama karena anakku menarik-narik hidung ku agar bangun dari tidur siang yang aneh itu.
Yang tak kurang anehnya, kutemukan kembali sobekan artikel Bung Besar yang selama ini hilang tercecer dari buku utamanya. Isinya seperti pesan tersendiri dari Bung Besar, sebagai berikut:
Tulisan kita hampir habis.
Dengan djalan jang jauh kurang sempurna, kita mentjoba membuktikan, bahwa faham Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme itu dalam negeri djadjahan pada beberapa bagian menutupi satu sama lain. Dengan djalan jang djauh kurang sempurna kita menundjukkan teladan pemimpin-pemimpin dilain negeri. Tetapi kita jakin, bahwa kita dengan terang-benderang menundjukkan kemauan kita mendjadi satu. Kita jakin, bahwa pemimpin-pemimpin Indonesia semuanja insjaf, bahwa Persatuanlah jang membawa kita kearah ke-Besaran dan ke-Merdekaan. Dan kita jakin pula, bahwa,walaupun fikiran kita itu tidak mentjotjoki semua kemauan dari masing-masing fihak, ia menundjukkan bahwa Persatuan itu bisa tertjapai. Sekarang tinggal menetapkan sahadja organisasinja, bagaimana Persatuan itu bisa berdiri; tinggal mentjari organisatornja sahadja, jang mendjadi Mahatma Persatuan itu. Apakah Ibu-Indonesia, jang mempunjai Putera-putera sebagai Oemar Said Tjokroaminoto, Tjipto Mangunkusumo dan Semaun, -apakah Ibu-Indonesia itu tak mempunjai pula Putera jang bisa mendjadi Kampiun Persatuan itu?
Kita harus bisa menerima; tetapi kita djuga harus bisa memberi. Inilah rahasianya Persatuan itu. Persatuan tak bisa terdjadi, kalau masing-masing fihak tak mau memberi sedikit-sedikit pula.
Dan djikalau kita semua insjaf, bahwa kekuatan hidup itu letaknjatidak dalam menerima, tetapi dalam memberi; djikalau kita semua insjaf, bahwa dalam pertjerai-beraian itu letaknja benih perbudakan kita; djikalau kita semua insjaf, bahwa permusuhan itulah jang mendjadi asal kita punja “via dolorosa”; djikalau kita insjaf, bahwa Roch Rakjat Kita masih penuh kekuatan untuk mendjundjung diri menudju Sinar jang satu jang berada ditengah-tengah kegelapan-gumpita jang mengelilingi kita ini,-maka pastilah Persatuan itu terdjadi, dan pastilah Sinar itu tertjapai djuga.
Sebab Sinar itu dekat!
“Suluh Indonesia Muda”, 1926